Hari Kamis, 28 Agustus 2025. Di kamis yang kelam ini, lagi-lagi peristiwa serupa terulang kembali. Sama seperti kamis-kamis sebelumnya, nyawa seorang insan manusia dihilangkan. Dipaksa menyerah di bawah roda panser tak bernurani. Dilindas bak keset yang dijadikan alas. Mereka pikir nyawa yang hilang itu hanyalah sekedar angka. Tambahan angka dalam barisan kasus kekejaman aparat terhadap sipil yang tak kunjung diusut tuntas. Padahal lebih dari itu. Hilangnya nyawa Affan, pengemudi ojol di bawah roda panser brimob, juga menghilangkan sejuta harapan yang diemban dirinya, keluarganya, dan orang-orang terdekatnya.
“Mereka yang kita kenal adalah
ucap Farid Stevy dalam “Kamis” miliknya.
Semua yang ‘kan menghilang
Dengan atau tanpa sampai jumpa,”
Dunia seolah memang ditakdirkan untuk terbiasa kehilangan. Duka pada setiap Kamis tak pernah benar-benar usai. Kisahnya menggema di tengah kepiluan, mengingatkan bahwa setiap nama yang hilang bukan sekadar angka, melainkan cerita yang diputus dengan paksa.
Mereka yang hilang sejak ’98, Randi & Yusuf, Gamma yang ditembak polisi, Sukatani yang dibungkam, dan sekarang Affan yang dilindas oleh panser brimob merupakan daftar korban kekerasan oleh aparat. Daftar nama tersebut akan terus mengintai siapa saja, seakan menunggu giliran untuk mencatat korban berikutnya. Nama mereka akan terus diingat sebagai manusia-manusia pemberani. Ingatan itu tidak boleh dibiarkan padam, sebab dari itulah lahir keberanian baru untuk menolak tunduk pada kesewenang-wenangan.

Publik bisa bersuara dengan caranya masing-masing. Mereka yang bergerak dalam usaha-usaha kolektif dapat terus menggemakan perlawanan di jalanan, ruang-ruang kecil gigs, dan forum-forum diskusi. Para musisi, seniman, dan pekerja kreatif lainnya bisa menjadikan karya sebagai senjata. Mulai dari lagu, puisi, mural, film, visual panggung atau zine yang menyimpan ingatan dan menyalakan perlawanan. Sebab, selama kita masih mengingat, selama itu pula mereka yang hilang akan abadi bersama kita. Dari obrolan kecil di tengah gigs, linimasa media sosial, hingga teriakan lantang di atas panggung-panggung festival musik, namanya akan terus hidup sebagai tanda bahwa ketidakadilan ini nyata. Jadi, perlawanan bisa dimulai dalam bentuk apa saja dan dimulai kapan saja. Organize it!