Memasuki kuartal ketiga tahun 2025, industri hiburan di Kota Solo sedang bergeliat dengan banyaknya acara hiburan yang diadakan seperti festival dan gigs musik. Salah satunya, pada tanggal 26 Juli yang lalu di 1999 Social, City Of Laboratory berkolaborasi dengan Senang-Senang Festival menghelat Laboratory Stage dengan menghadirkan band Jirapah asal Jakarta. Laboratory Stage kali ini dihelat dengan tajuk “The Planetarium” sebagai showcase spesial Jirapah membawakan set album Planetarium. Ini merupakan kali pertama Jirapah tampil di Solo. Jirapah menyapa penggemarnya di kota ini melalui sebuah album yang tercipta dari keheningan dan pencarian, dari ruang hampa yang justru melahirkan kilatan paling jujur dalam perjalanan karya mereka.
Beberapa band turut menyambut penampilan pertama Jirapah di Solo, antara lain yaitu The Flyover, Fazzover, dan Liburan Dirumah. Malam itu menjadi saksi atas perjalanan Jirapah merekayasa ruang kosong di 1999 Social menjadi sebuah planetarium yang menampilkan kilau karya-karya monumental mereka. Usai turun panggung dan menemui beberapa penggemar mereka, Tim Redaksi Web The Lab mencoba untuk mengulik lebih dalam album Planetarium yang dibawakan malam itu melalui sebuah sesi wawancara eksklusif dengan para personilnya.
Berikut hasil wawancara eksklusif kami bersama Jirapah!
Halo Jirapah! Boleh perkenalan dulu nih, biar lebih akrab.
Yudhis: Halo, aku Yudhis main gitar.
Ken: Halo, aku Ken sebagai vokalis sekaligus gitaris.
Nico: Aku Nico di drum.
Mar: Halo, Gue Mar sebagai bassist.
Oke, salam kenal semua. Pertama, bisa dijelaskan bagaimana awal mula terbentuknya Jirapah?
Ken: Awalnya, Jirapah itu solo project aku sewaktu tinggal di Amerika. Ini merupakan eksperimen isengku aja yang dilatarbelakangi oleh hobiku yang sering pergi ke acara musik dan gigs. Terus, ketemu sama Mar dan akhirnya kami berdua pacaran. Dulu, Mar sewaktu di Amerika jadi organizer di acara-acara punk Asia gitu dan akhirnya dia tertarik buat belajar main bass. Kemudian, ada suatu waktu aku kenalan juga deh sama teman-teman yang lain dan sepakat buat gabung di Jirapah.
Berarti sewaktu di Amerika sudah pakai nama Jirapah ya?
Ken: Iya, aku udah pakai nama Jirapah itu. Setahun atau dua tahun gitu lah ya manggung regular sekali sebulan. Setelah itu, Visaku habis dan akhirnya pulang ke Indonesia sekitar tahun 2010. Tapi, waktu itu Mar belum ikut pulang. Pas di Indonesia aku kenal Yudhis, Nico dan beberapa teman lainnya. Dari situ, mulailah kita hangout bareng dan ternyata selera musiknya juga saling nyambung. Akhirnya, Aku, Nico, Yudhis, dan Jan bareng-bareng mencoba untuk membesarkan Jirapah. Itu formasi lamanya. Terus, tahun 2012 Mar balik ke Indonesia dan bergabung lagi. Awalnya pegang keyboard tapi akhirnya balik pegang bass lagi deh.
Untuk nama Jirapah sendiri itu ada kaitannya dengan hewan jerapah atau ada arti lain?
Ken: Dulu tuh, Jirapah panggilan dari teman kita. Dia suka manggil gue “Jerapah” karena badan gue tinggi. Lama-lama diplesetin ke “Jirapah” soalnya lebih imut-imut gitu. Yaudah deh, akhirnya nama itu gue pake buat nama project ini.
Apa yang menginspirasi lahirnya Album Planetarium?
Secara tema, album Planetarium dipengaruhi oleh ketertarikanku terhadap fisika, terkhusus astrofisika. Terus gue juga suka nonton dokumenter tentang Einstein gitu, dan beberapa kajian yang ada kaitannya dengan teori relativitas. Dari situ, gue kepengen banget bawa tema kaya gitu ke sebuah karya musik caranya gimana karena karya-karya sebelumnya menurutku cukup personal secara lirik. Akhirnya, kita pakailah konsep planetarium untuk shout out to our whole universe.
Ken, vokalis dan gitaris Jirapah
Apa referensi masing-masing dari kalian dalam berkarya di Jirapah ini?
Yudhis: Sebenarnya, kalau musik yang didengerin banyak sih kaya punk, hardcore, metal, dan lainnya. Nah, Cuma gue awal gabung tuh kan lihat dulu lagu Jirapah itu kaya gimana. Kira-kira yang dibutuhkan apa. Kalau butuh dikencengin ya gue main kenceng. Jadi, lebih menyesuaikan aja sama Jirapah sendiri biar gue bisa serve lagunya.
Ken: Kalo aku sih banyak banget. Kaya tadi yang diomongin pas di panggung, salah satunya Yura Yura Teikoku, band psikedelik Jepang. Gue juga udah pernah nonton beberapa kali show-nya dan Shintaro Sakamoto beneran epic banget bawain musiknya. Sayang banget mereka di sekitar tahun 2009 atau 2010 bubar dan sekarang Shintaro Sakamoto jadi solois yang kemarin sempat tampil di Joyland Bali. Lalu, aku juga suka sama hardcore tuh. Rawness dari hardcore yang selalu ingin kita hadirkan dalam tiap produksi musik kita. Soalnya dari kecil udah terpapar sama hardcore tahun 80’an seperti Gorilla Biscuits. Selain itu, kita juga punya referensi musik dari Bob Dylan dan Cornelius. Jadi, Jirapah tu kaya mencoba buat mengikuti mereka dan kita melihat jadinya bakalan seperti apa. Bisa dibilang kita ini grup musik pop yang ingin sedikit eksperimental gitu.
Nico: Kalo gue karena dulu awal masuk Jirapah pegang bass ya, lebih ke musik-musik afrobeats sih. Belakangan, gue lumayan suka mengulik Cornelius juga.
Mar: Kalo aku punya referensi dari musik-musik hardcore di akhir tahun 90’an sampai akhir pertengahan 2000’an. Dari situ yang gue ambil pasti spirit DIY-nya. Sekitar 2010 gue mulai suka sama yang psikedelik kaya Wooden Shjips.
Apa lagu Jirapah yang akhir-akhir ini jadi favorit kalian?
Yudhis: Kalo sekarang sih karena belakangan sering mainin set album Planetarium, gue sih lagi suka “Bintang” padahal dulu belum terlalu suka. Tapi, sekarang menurut gue itu lagu paling psikedelik dan atmosferik dari Jirapah sendiri. Kaya maininnya tuh seru banget.
Ken: Gue sampai sekarang masih suka sama lagu lama yaitu, “Telephones”.
Mar: Padahal lagu itu kurang digemari sama pendengar ya.
Ken: Iya juga sih, gue nggak tahu kenapa ya. Menurut gue lagu itu ngena banget secara personal. Mungkin karena itu lagu awal dari project gue. Jadi sebuah karya yang terlahir dari hasil belajar awal bikin beat melalui komputer. Awal lagu itu direkam, gue berpikir wah ini lagu Jirapah yang sempurna banget. Tapi ternyata kurang digemari sama pendengar.
Nico: Kalo gue sekarang suka lagu “Planetarium”. Awalnya sih berasa kena pressure tiap bawain lagu itu. Lama-lama malah jadi suka karena di situ tantangannya. Apalagi di bagian ending pas pecah-pecahnya.
Gue sekarang juga suka sama “Planetarium”. Belakangan suka lagu “Planetarium” karena Ricky Siahaan. Ada pesan personal yang pernah disampaikan mendiang Ricky terhadap lagu “Planetarium”. Jadi semenjak dia nggak ada, tiap mainin Planetarium secara emosional itu dalam banget. Lagu ini bikin gue kebayang si Ricky.
Mar, bassist Jirapah
Omong-omong soal Planetarium, bagaimana proses kreatif yang terjadi sampai pada akhirnya lagu tersebut dibawakan ulang oleh Cholil (Efek Rumah Kaca)?
Ken: Nah kalo itu banyak perannya manajer kita, Hilmi. Coba ceritain, Mi.
Hilmi: Halo semuanya, nama gue Hilmi. Jadi, dulu sewaktu manggung di Joyland ketemu Cholil. Di Joyland, panggung-panggungnya dikurasi sama Efek Rumah Kaca. Awalnya iseng aja mikir kayanya Planetarium ini cocok deh dibawain ulang oleh Cholil. Kita coba tembusin dan ternyata Cholil setuju. Akhirya, sewaktu pandemi itu kita mikir buat bikin sesuatu untuk galang dana. Galang dananya ditujukan buat pekerja kreatif yang terdampak dengan adanya pandemi. Salah satu yang diajak yaitu Cholil untuk membawakan ulang “Planetarium”. Kita juga bikin zine dengan menggandeng beberapa penulis.
Apa mimpi besar Jirapah yang belum tercapai dan sedang diusahakan?
Ken: Mungkin album sih kalau sekarang. Sebenarnya, lagu-lagunya sudah ada tapi belum direkam sampai sekarang. Kita pengen bikin rilisan-rilisan baru dan juga merasakan manggung di luar negeri. Momen sekarang juga salah satu mimpi kita yang sudah tercapai. Manggung pertama kali di Solo dan Malang, terus kembali lagi ke Surabaya setelah sepuluh tahun lamanya. Sebagai sebuah band masih banyak impian kita yang belum tercapai dan kita ingin mimpi setingi-tingginya aja sih.
Bagaimana tanggapan Jirapah tentang acara tadi dan City Of Laboratory yang menempatkan kota sebagai sebuah laboratorium untuk eksplorasi segala bentuk kesenian?
Ken: Maaf kalau agak klise, tapi acara tadi beneran seru buat semua orang yang ada di situ. Kita sebagai orang-orang yang bermain musik, tugasnya bisa dibilang sebatas memainkan musik itu saja. Saat ini yang dibutuhkan adalah ruang-ruang untuk mengekspresikan karya para musisi.
Kehadiran City Of Laboratory dan juga teman-teman kolektif lain yang pada akhirnya menginisiasi terbentuknya ruang eksploratif berbagai karya seni lintas disiplin.
Ken, vokalis dan gitaris Jirapah
Apa pesan dan harapan buat City Of Laboratory dan teman-teman kolektif lain di Solo ke depannya?
Mar: Sekali lagi, ini inisiatif yang keren dan menyenangkan. Pesanku buat City Of Laboratory, kegiatan semacam ini semoga bisa terus berjalan dan berkembang lebih besar lagi.
Yudhis: Setuju, karena sesuatu yang besar itu pasti dimulai dari banyak hal kecil.
Mar: Kalau nggak ada kolektif seperti ini, musisi-musisi lokal mungkin nggak ada ruang buat mengeksplorasi karya mereka sendiri.
Selain itu, gigs seperti ini merupakan sebuah ruang yang tersedia untuk tiap individu yang hadir dapat saling bertemu dan bertukar pikiran. Ide-ide baru liar itu bisa dimulai dari sini.
Ken, vokalis dan gitaris Jirapah
Siapa tahu beberapa teman yang datang pada akhirnya kepikiran untuk bikin band juga. Terima kasih sekali lagi buat City Of Laboratory, semoga bisa bertemu lagi di perjumpaan selanjutnya!


